Merajut seni lewat motif; Fakta menarik tentang pakaian tradisional perempuan Timor
(Lidwina Felisima Tae)
Belakangan ini tenun ikat dari berbagai daerah di Nusa Tenggara Timur (NTT) mulai mendapatkan perhatian lebih dari berbagai kalangan. Sebut saja para artis yang sering melakukan pemotretan menggunakan tenun ikat dari beberapa daerah di NTT (misalnya dari pulau Sumba dan Rote) ataupun beberapa kegiatan fashion show berskala besar yang memamerkan ke-eksotisan tenun ikat NTT. Tenun ikat NTT juga menjadi semakin populer ketika salah seorang presenter kondang tanah air, Najwa Sihab, sering menggunakan tenun ikat NTT sebagai bahan dasar busana yang ia kenakan saat membawakan acara.
Tidak dapat dipungkiri, NTT sebagai provinsi kepulauan memiliki banyak pulau dengan beragam suku, budaya, bahasa daerah, tarian daerah, pakaian tradisional hingga variasi pola/motif tenun ikat yang beragam. Setiap suku dalam satu pulau bahkan punya banyak sekali jenis motif tenun ikat dan juga pada cara mereka memakai pakaian tradisionalnya. Jadi, tema “Tenun Ikat dan Pakaian Tradisional NTT” merupakan tema yang sangat luas pembahasannya karena banyak sekali jenisnya. Nah, pada kesempatan ini saya tertarik untuk mengulas sedikit tentang apa saja bagian-bagian pakaian tradisional yang biasanya dikenakan oleh perempuan Timor, namun spesifik pada beberapa suku di pulau Timor.
Beberapa minggu lalu saya berkesempatan mengunjungi dua daerah di pulau Timor yang bernama dusun Oenali, di kecamatan Biboki Utara, kabupaten TTU (Timor Tengah Utara) dan Desa Haitimuk yang berada di Kabupaten Malaka. Suku yang mendiami desa Oenali adalah suku Dawan sedangkan penduduk asli desa Haitimuk adalah suku Tetun. Pada saat itu, saya akhirnya punya kesempatan untuk mengenakan dua jenis pakaian tradisional dari daerah ini.
Lokasi gambar pertama diambil di desa Haitimuk di kabupaten Malaka, sebuah kabupaten yang baru mekar di bagian timur pulau Timor. Berikut adalah bagian-bagian pakaian tradisional beserta namanya dalam bahasa daerah setempat.
Pakaian tradisional perempuan Timor, suku Tetun.
Sumber foto: koleksi pribadi
- Pada saat itu saya menggunakan tenun ikat yang dalam bahasa daerah disebut Tais Marobo dengan warna cerah; merah. Warna merah ini kemudian kontras dengan warna kuning keemasan yang direnda dengan motif-motif unik dan menutupi sebagian besar permukaan Tais.
- Di foto ini, saya memegang tempat sirih pinang atau dalam bahasa daerah disebut Kabir Mama, yang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Kabir Mama Feto (tempat sirih untuk perempuan) dan Kabir Mama Mane (Tempat Sirih untuk Laki-Laki). Kabir Mama lumrah ditemui di rumah-rumah penduduk sebagai tempat menyimpan sirih pinang. Jangan heran, sirih pinang merupakan hal pertama yang biasanya disajikan untuk menjamu tamu ketika anda berkunjung ke rumah mereka. Oh ya, bentuk dan warna Kabir Mama juga bervariasi. Pada foto ini saya memegang Kabir Mama Feto yang terbuat dari anyaman menggunakan daun lontar.
- Di kepala saya ada benda seperti mahkota. Namanya So’e Ren. Saya terpesona dengan benda yang satu ini. Kenapa? So’e Ren terdiri dari dua bagian terpisah, dimana bagian pertama adalah yang dipasang menutupi bagian dahi saya, sedangkan bagian kedua disusun di atasnya dengan susunan yang mengerucut ke atas. Oh ya, So’e Ren ternyata terdiri dari kepingan-kepingan kecil yang baru akan disusun bila ingin digunakan. Okay ini menarik! Tapi tunggu, ada yang lebih menarik lagi. Bisakah anda menebak benda-benda bulat yang menyusun sebagian besar So’e Ren? Saat itu saya penasaran apa sebenarnya benda ini. Ternyata, benda-benda bulat ini adalah sekumpulan koin. Koin-koin ini adalah mata uang Belanda yang sudah berumur ratusan tahun lalu. Saya ingat, ada satu koin yang bahkan dibuat sekitar tahun 1800-an!
Tak kalah indah, gambar ke-2 merupakan pakaian tradisional yang berasal dari kecamatan Biboki Utara, Kabupaten Timor Tengah Utara. Lokasi pemotretan adalah di sebuah dusun bernama Oenali. Pada dasarnya, terdapat beberapa kesamaan antara pakaian adat yang saya kenakan di sini dengan pakaian tradisional orang Malaka, terutama pada bagian mahkota di kepala. Perbedaan terletak pada cara warga setempat memberi nama dalam bahasa daerahnya, juga pada motif tenun ikatnya. Yukk, kita lihat lebih dekat bagian-bagian pakaiaan tradisional ini.
Pakaian tradisional suku Dawan
Sumber foto: koleksi pribadi
- Ada dua bahan utama yang saya kenakan. Bagian bawah merupakan tais sedangkan bagian atas semacam scarf yang disebut Bet Ana. Kali ini motif Tais dan Bet Ana didominasi warna cokelat dengan motif yang cukup berbeda. Bet Ana menutupi bagian punggung dan di modifikasi sedimikian rupa sehingga terlihat indah.
- Saya juga memegang tempat sirih pinang berbahan tembaga yang oleh masyarakat setempat disebut Ka’bi.
- Mahkota pada kepala saya mirip dengan yang saya kenakan pada pakaian adat orang Malaka, dengan bahan dasar koin-koin mata uang Belanda yang digantung dengan susunan teratur. Namun, perbedaan terletak pada cara pemberian nama bagian-bagian mahkota ini. Bagian pertama disebut Heteren yang merupakan bagian yang menutupi dahi dengan sekumpulan koin. Bagian atas yang menjulang merupakan Pet No’o dengan koin-koin terpasang sepanjang kerangka mahkota tersebut. Sekilas, Pet No’o yang saya kenakan mirip dengan So’e Ren yang saya pakai sebelumnya di Malaka, namun terdapat sedikit perbedaan pada bentuknya.
- Di leher saya, ada tiga buah kalung bernama Mollo yang merupakan perhiasan sebagai pelengkap ketika perempuan Timor mengenakan pakaian tradisional.
- Oh ya, Sebagai informasi tambahan, lokasi foto saat itu tepat berada di depan rumah adat (Uem Le’u) yang masih dipelihara keasliannya oleh penduduk setempat sebagai rumah tempat menyimpan benda-benda peninggalan nenek moyang dan tempat diadakannya berbagai macam ritual adat.
Okay, di atas adalah fakta-fakta menarik tentang pakaian tradisional yang biasanya dikenakan oleh perempuan Timor pada dua suku berbeda; suku Tetun dan suku Dawan. Di pulau Timor sendiri, terdapat banyak sekali variasi model dan motif tenun ikat, pemberian nama oleh bahasa setempat dan juga pada cara memakai pakaian tradisional, yang dapat mewakili keberagaman suku yang ada di pulau ini. Perempuan-perempuan Timor biasanya mengenakan pakaian tradisional ini pada saat upacara-upacara tertentu, misalnya saat acara peminangan (lamaran).
Melalui tulisan ini, saya ingin mengkampanyekan gerakan cinta tenun ikat dan pakaian tradisional NTT agar tidak punah namun terus dipertahankan keberadaannya. Mari kita lestarikan budaya kita!
Cheers,
LFT
Post a Comment