REVITALISASI PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL BAGI MASYARAKAT ATOIN METO (Orang Dawan) DI PULAU TIMOR
BY : Jecho Agu
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat disuatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Wahyu dalam Mukti (2010) bahwa kearifan lokal dalam terminology budaya dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan lokal yang berasal dari budaya masyrakat, yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang, beradaptasi dengan sistemm ekologi setempat, yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat lokal dalam bidang pertanian kesehatan, penyediaan makanan,pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan beragam kegiatan lainnya didalam komunitas-komunitas.
Kearifan lokal memunyai dimensi sosial dan budaya yang kuat, karena memang lahir dari aktivitas perilaku terpola manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kearifan lokal dapat menjelma dalam berbagai bentuk seperti ; ide, gagasan, nilai, norma, peraturan dalam ranah kebudayaan, sedangkan dalam kehidupan sosial dapat berupa sistem religious, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, siistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan.
Masyarakat setempat yang menerapka cara hidup tradisional di daerah pedesaan, yang nyaris tak tersentuh teknologi umumnya dikenal sebagai masyarakat suku, komunitas asli atau masyarakat hukum adat, penduduk asli atau masyarakat tradisional. Masyarakat setempat seringkali menganggap diri mereka sebagai penghuni asli kawasan terkait, dan mereka biasanya berimpun dalam tingkat komunitas atau desa. Kondisi demikian dapat menyebabkan perbedaan rasa kepemilikan antara masyarakat pribumi dengan penghuni baru yang berasal dari luar, sehingga masyarakat setampat seringkali menjadi rekan yang tepat daam konservasi.
Masyarakat tradisional pada umumnya sangat mengenal dengan baik lingkungan disekitarnya. Mereka hidup dalam berbagai ekosistem alami yang ada di Indonesia dan telah lama hidup berdampingan dengan alam secara harmonis, sehingga mengenal berbagai cara memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Prospek kearifan lokal di masa depan sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah yang berakaitan langsung dengan pengelolaan sumber daya alam, dimana masyarakat setempat tinggal dan kemauan masyarakat untuk tetap menjaga keseimbangan dengan lingkungan meskipun menghadapi berbagai tantangan. Maka dari itu penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam melakukan tindakan di lingkungan tempat tinggal guna menghindari konflik-konflik sosial bahwa pengelolaan sumber daya dalam hal ini pengelolaan hutan wana tani yang kurang memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat lokal akan dapat menimbulkan konflik terutama dala pengelolaan, alternatifpengelolaan lahan, dan pemetaan sumber daya alam serta kepentingan antar kelompok masyarakat lokal. Melihat pentingnnya peran masyarakat lokal dalam menjaga keestaria lingkungannya maka penting untuk mempertahankan dan melindungi tindakan- tindakan masyarakat yang merupakan bentuk dari kearifan ekologis.
Merujuk pada data yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO) yang menyatakan bahwa angka deforestasi Indonesia pada periode 2000-2005 sebesar 1,8 juta hektar/tahun. Laju deforestasi hutan di Indonesia ini membuat Guiness Book of The Record memberikan ‘gelar kehormatan’ bagi Indonesia sebagai negara dengan daya rusak hutan tercepat di dunia. ( Wikipedia, 2015). Dari total luas hutan di Indonesia yang mencapai 180 juta hektar, sebanyak 21 persen atau setara dengan 26 juta hektar telah dijarah total sehingga tidak memiliki tegakan pohon lagi. Artinya, 26 juta hektar hutan di Indonesia telah musnah. Berdasarkan kondisi real ini secara umum dapat katakan bahwa kawasan hutan Indonesia saat ini dihadapkan pada permasalahan yang serius untuk disikapi. Dalam membangun kembali kawasan hutan diperlukan sebuah model komunikasi pembangunan yang efisien dan efektif serta berkelanjutan. Dalam prinsip sustainable forest managemen manusia menjadi aktor yang penting hal terbukti dalam hubungan timbal balik antara manusia dan hutan sebagai penyedia jasa dan potensi bagi kelangsungan hidup.
Soemarwoto (2004) menjelaskan bahwa suatu sistem ekologi terbentuk berdasarkan hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya. Hubungan timbal balik yang harmonis antara manusia dengan alam terwujud dalam etika ekosentrisme. Paham ekosentrisme justru banyak dihayati oleh masyarakat bersahaja (indigenous people) yang meyakini bahwa alam dan dirinya adalah unsur yang tidak terpisahkan (inklesionisme). Kelompok masyarakat ini dikategorikan sebagai petani tradisional dan mereka beranggapan bahwa hutan merupakan tempat keramat dan sangat menghormatinya. Dalam upaya menekan laju penurunan kualitas sumber daya hutan dewasa ini, maka dibutuhkan upaya konservasi secara serius oleh pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat. Peran serta masyarakat pembangunan hutan sangat dibutuhkan. Salah satu hal yang dapat dipertahankan adalah dengan membangun komunikasi khususnya dalam sektor kehutanan berdasarkan prinsip kearifan masyarakat lokal setempat. Hal ini dimaksud agar masyarakat juga dilibatkan serta dalam pembangunan kawasan hutan yang lebih efektif. Kearifan Lokal umumnya berisi ajaran untuk memelihara dan memanfaatkan sumberdaya alam ( hutan, tanah, dan air) secara berkelanjutan.
Dari sisi lingkungan hidup keberadaan kearifan lokal sangat menguntungkan karena secara langsung atau pun tidak langsung sangat membantu dalam pemelihara lingkungan (Hidrologi hutan) serta mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Dalam makna kearifan lokal secara umum dipahami hubungan yang dibangun antara manusia sebagai pemanfaat jasa dengan kawasan hutan sebagai pemberi jasa dalam hubungan yang bersifat timbal balik. Mengingat begitu pentingnya peranan kearifan lokal dalam upaya memelihara dan melestarikan fungsi lingkungan hidup (kawasan hutan), maka kearifan lokal tersebut perlu terus dipelihara, ditingkatkan dan diadopsi dalam membangunan kesadaran individual terkait pelestarian sumber daya alam .
MAMAR TRADISI ATOIN METO METO MENJAGA HARMONISASI ALAM DI PULAU TIMOR
Mamar merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat dipulau Timor Nusa Tenggara Timur. Manfaat mamar Mamar dipandang sebagai suatu bentuk hutan yang menjalankan fungsi hidrologis yakni, menjamin ketersediaan air kelimpahan biodeversiti untuk dimanfaatkan. Air menjadi salah satu unsur penting dalam berbagai upacara masyarakat adat Atoin Meto. Baik sumber air suci (oe’leu) tersebut mempunyai makna yang dalam bagi masyarakat Atoin Meto, yakni sebagai sumber kehidupan, yang sejak dahulu yang menjamin keberadaaan mereka. Maka, keberadaan air suci tersebut sangat dihargai oleh warga masyarakat dipulau timor secara umum. Dalam kebudayaan Atoin Meto oe’leu merupakan air yang berasal dari sumber air yang sudah disucikan oleh klen tertentu pada kawasan hutan. Penyucian sumber air tersebut dilakukan dalam upacara “pemberian makan/sesajian” kepada oe’leu.
Persembahan biasanya berupa hewan seperi babi, ayam, kambing atau sapi. Hewan-hewan tersebut disembelih kemudian darahnya dioleskan pada batu dan kayu yang ada di dekat mata air. Secara fisik batu dan pohon tersebut tiada berbeda dengan batu dan pohon lainnya. Darah hewan menjadi tanda bahwa batu, pohon dan sumber air tersebut sudah disucikan. Hutan dan ketersediaan air juga mempunyai peranan dalam integrasi sosial diantara masyarakat desa. Mamar dapat dianalogikan sebagai wahana yang setiap hari dikunjungi oleh warga desa dan pada saat yang bersamaan mereka dapat berinteraksi di dalamnya. Bila tiba saat panen semua warga akan berkumpul di dalam mamar Oel Taekas untuk bersama-sama memetik hasil panennya. Masyarakat seolah paham bahwa tanpa hutan, air menjadi barang langka; ditambah lagi dengan kepercayaan masyarakat bahwa leluhur mereka berasal dari batu dan kayu (fatu hau), (Openg,1995). Pembagian zonasi pemanfaatan pada kawasan hutan mamar ada 2 yaitu zonasi sakral dan sonasi profan. Penetapan sonasi ini merupakan turun-temurun dari leluhur yang terus dijaga hingga sekarang ini.
Zonasi Sakral
Sonasi sakral berhubungan dengan kepercayaan relegius masyarakat setempat. Mereka memposisikan kawasan ini menjadi kawasan keramat yang melarang adanya pemanfaatan secara langsung oleh masyarakat baik air,hasil kayu yang ada didalamnya.Apa bila ditemukan pelanggaran maka warga masyarakat yang melanggar akan dikenakan sangsi adat yang berlaku. Mereka juga beranggapan bahwa zonasi ini merupakan tempat tinggal leluhur mereka yang memberikan kehidupan yang menjelma dalam rupa batu,pohon,dan air dalam kawasan tersebut. Bukti dari anggapan ini dalam setahun sekali masyarakat disekitar kawasan selalu membuat ritual penyembelihan ternak dan persembahan hasil panenan mereka ( Kedang, 2009).
Zonasi Profan
Zonasi Profan merupakan zonasi dimana digunakan untuk peningkatan ekonomi, masyarakat diisinkan oleh kepala suku yang dituakan untuk memanfaatkan zona profan (kopa) warga menanam tanaman-tanaman yang bernilai ekonomis seperti pinang, mahoni, kelapa, dan, sirih,padi, jagung, pemeliharaan ikan, dll.
Mitos tentang lingkungan pada hutan MAMAR dalam masyarakat adat Atoin Meto dikenal dengan istila nais tala. Hutan jenis ini dipersepsikan sebagai milik leluhurnya yang juga berada pada zonasi sakral. terdiri dari pohon-pohon besar seperti berbagai tanaman perdu, mahoni, beringin, jambu air, dengan diameter batang lebih dari 1 m dan tinggi kurang lebih 40-60 m serta berbagai hewan seperti berbagai jenis burung, biawak, kelelawar, dan ular. Pemanfaatan sumberdaya hutan didasarkan atas aturan adat yang telah disepakati bersama oleh seluruh penduduk Desa. Warga desa tidak boleh mengambil hasil hutan seperti kayu gelodongan, kayu bakar, dan buah-buahan; bila memasuki area hutan ini warga tidak boleh mengambil apa pun yang ditemukan, kecuali diizinkan oleh pemangku adat setempat (usif).
Pemahaman tentang hutan keramat atau nais tala secara implisit telah menjaga kelestarian hutan. Melalui keberadaan mitos ini, pola tindakan warga dalam pemanfaatan hutan dapat dikendalikan. Hubungan hutan dengan air dikatakan sebagai sebuah hubungan yang berbanding lurus, artinya semakin banyak hutan sama dengan semakin banyak air. Hal ini dapat terjadi karena akar tumbuhan yang mencengkram tanah menghasilkan efek spons agar tanah menyerap dan menampung air, dan tajuk pohon akan menangkal radiasi sinar ultraviolet dari matahari dan mencegah evaporasi. (Russel, 1993). Berdasarkan implikasi dari pemahaman masyarakat lokal tentang mamar diTimor dimana masyarakat dapat bertahan dari kondisi iklim yang kritis dengan ketersediaan air setiap tahun yang berlimpah serta mampu memanen hasil sawah 2 kali setahun dengan hasil panenan yang melimpah.
Disamping itu keaneka ragaman hayati yang terkandung dalam kawasan hutan terus berkembang pesat. Adopsi komunikasi Pola kearifan lokal MAMAR ini diyakini mampu mambu mengembalikan tata kelola pembangunan kawasan hutan dengan melibatkan pengelolaan kawasan hutan multi pihan (Pemerintah,LSM,dan Masyarakat) berdayarkan kearifan yang terdapat ditiap wilayah. Keuntungan dengan mengadopsi kearifan lokal kondisi dapat dipahami bahwa hutan (ekologi hutan) dijaga dan diselamatkan serta masyarakat memperoleh hasil berupa air, Hasil hutan, serta lingkungan yang lestari buat kehidupan.
Ketidak seimbangan pemanfaatan sumber daya alam dalam pemenuhan kehidupan manusia menjadi pemicu degradasi dan deforestrasi kawasan hutan. Melihat realita yang ada dalam perkembangan pemanfaatan jasa kehutanan di masyarakat hingga saat ini dapat dikatakan ada dua aliran tentang pengelolaan sumber daya alam yaitu ,
1. Aliran ekosentrik, yaitu yang lebih bertitikberat pada kelestarian sumber daya alam, tanpa peduli kepada kebutuhan hidup manusia.
2. Aliran antroposentrik, yaitu yang lebih bertitikberat pada kebutuhan hidup manusia, yang kalau tidak diatur dapat menjurus ke perusakan sumber daya alam.
Berdasarkan pengertian ini maka dapat dilihat tidak adanya keseimbangan pemanfaatan sumberdaya baik secara berkelanjutan dalam lingkup pelestarian pemanfaatan bagi kehidupan manusia. Hal inilah yang menyebapkan timbulnya mis comunication dalam pembangunan kawasan hutan secara berkelanjutan. Melihat kondisi ini maka penulis ingin mengkaji bagaimana sistem yang dibangun dalam kearifan lokal khususnya mawar yang memberikan keseimbangan antara pemanfaatan dan kelestarian alam di Timor. Ada tiga komponen penting yang akan dilihat guna mengadopsi sistem MAMAR ini sebagai upaya komunikasi dalam pembangunan kehutanan secara berkelanjutan yaitu :
1. Prilaku, berkaitan dengan sikap,pengetahuan, keterampilan dari masyarakat mamar.
2. Kebijakan (regulation), yang dibuat berdasarkan kesepakatan adat dan aturan yang berlalu, serta cara pemanfaatannya.
3. Keefektifan, artinya sejauhmana MAMAR memberikan dampak positif dan negatif bagi perkembangan aspek ekonomi,ekologi, dan sosial masyarakat
Post a Comment